Langit cerah ibu kota menaungi halaman Masjid Istiqlal pada Sabtu (25/10) pagi menjelang siang. Di pelataran masjid terbesar di Asia Tenggara itu, suasana terasa ramai oleh jamaah dan wisatawan.
Di antara lalu-lalang pengunjung, sekelompok mahasiswa perempuan dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tampak duduk bersantai selepas kegiatan kampus.
Bagi mereka, masjid bukan sekadar tempat ibadah. Istiqlal menjadi ruang publik yang memberi rasa aman, identitas, sekaligus jeda dari hiruk-pikuk Jakarta.
Najwa, salah satu mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UIN Jakarta, menilai pentingnya keberadaan ruang publik yang ramah bagi perempuan.
“Ruang publik yang nyaman itu penting banget, apalagi buat anak muda zaman sekarang yang kadang masih sungkan di tempat umum,” ujar Najwa.
Ia menambahkan, ruang publik yang baik seharusnya membuat setiap orang merasa diterima tanpa rasa canggung.
“Kita butuh tempat yang ramah, orang-orangnya sopan, dan bikin nyaman,” katanya.
Kelima mahasiswa yang hadir, Najwa, Zahra, Fitri, Raina Puspita, dan Fitra Sari, sedang menjalani tugas observasi tentang keberagaman agama. Pilihan mereka jatuh pada Masjid Istiqlal bukan tanpa alasan.
Menurut mereka, selain statusnya yang ikonik, letak Istiqlal yang berhadapan langsung dengan Gereja Katedral Jakarta menjadi simbol toleransi dan moderasi beragama di tengah kota.
“Kita pilih Istiqlal karena iconic banget, apalagi di seberangnya ada gereja. Jadi benar-benar menggambarkan keberagaman di Jakarta,” ujar Raina.
Namun, daya tarik Istiqlal bagi mereka tidak hanya pada simbol keberagaman. Masjid ini juga dikenal sebagai ruang yang luas, bersih, dan ramah bagi perempuan.
“Tempatnya nyaman banget. Kalau mau singgah buat salat atau istirahat juga aman,” tutur Fitri.
Pengalaman mereka di Istiqlal membuat para mahasiswa ini semakin sadar akan pentingnya ruang publik yang inklusif bagi muslimah.
Mereka menilai kini semakin banyak tempat di Jakarta yang menyediakan fasilitas ibadah seperti mushola di halte, stasiun, hingga perpustakaan.
“Harus dijadikan budaya sih. Karena masyarakat kita mayoritas Islam, jadi sebaiknya setiap tempat publik menyediakan ruang salat. Biar nggak repot cari-cari,” tambah Fitri.
Meski demikian, mereka mengakui belum semua ruang publik ramah bagi perempuan. Beberapa tempat masih meninggalkan kesan kurang bersahabat.
“Kadang ada petugas yang judes. Jadi males balik ke situ lagi,” ujar Fitra Sari.
Menurut mereka, ruang publik yang ideal bukan hanya soal fasilitas ibadah, tetapi juga tentang sikap saling menghargai dan kenyamanan pengunjung.
Tempat yang bersih, aman, serta tidak membuat orang merasa diawasi menjadi cerminan kota yang menghargai nilai-nilai Islami dan keberagaman.
“Yang penting itu nyaman dan bersih. Biar kita juga ngerasa dihargai dan betah di situ,” ujar Najwa menutup perbincangan siang itu, ketika gema azan zuhur mulai terdengar dari menara Istiqlal.
