Membaca Tren Persepsi terhadap Muslimah Berhijab

Fenomena penggunaan hijab di kalangan perempuan Muslim Indonesia mengalami perubahan persepsi dalam dua dekade terakhir. Kini, hijab bukan sekadar simbol religiusitas, melainkan juga menjadi bagian dari ekspresi diri dan identitas sosial perempuan Muslim di ruang publik.

Namun, di tengah meningkatnya kesadaran berbusana syar’i, muncul pula tantangan baru. Perempuan berhijab kerap menghadapi penghakiman moralitas ganda. Mereka yang tampil modis dan mengikuti tren fesyen sering kali dianggap kurang syar’i, sedangkan yang memilih berpakaian lebih tertutup justru kerap distigma sebagai kelompok ekstrem.

Fenomena ini berlangsung di tengah lonjakan jumlah pengguna hijab di Indonesia. Penelitian Deborah N. Simorangkir (2024) dari Swiss German University mencatat, sekitar 75 persen perempuan Muslim di Indonesia kini mengenakan hijab. Angka tersebut meningkat tajam dibandingkan hanya lima persen pada akhir 1990-an.

Dalam laporannya, Deborah menjelaskan bahwa media populer dan figur publik berperan besar dalam membentuk persepsi masyarakat terhadap muslimah berhijab. Media sosial, film, hingga selebritas turut memengaruhi bagaimana masyarakat menilai identitas perempuan Muslim di ruang publik.

Di tengah realitas sosial itu, Sri (48) dan Irma (48), dua perempuan Muslim yang ditemui di halaman Masjid Istiqlal, Jakarta, pada Kamis (24/10), berbagi pengalaman mereka tentang perubahan pandangan masyarakat terhadap perempuan berhijab.

Irma mengaku, menggunakan pakaian yang menutup aurat memberi pengaruh terhadap cara orang memperlakukannya di ruang publik.

“Kalau pakai kerudung, orang jadi nggak berani sembarangan. Lebih sopan aja,” ujar Irma.

Ia menambahkan, keputusannya berhijab muncul dari dorongan pribadi, bukan paksaan.

“Nggak ada yang nyuruh, cuma merasa sudah waktunya saja,” katanya.

Berbeda dengan Irma, Sri bercerita bahwa keputusan berhijab diambil setelah menikah, atas dukungan dan dorongan suami.

Keduanya sepakat bahwa pilihan busana muslimah kini semakin beragam. Namun, keragaman itu tidak lepas dari kritik sosial yang menyoroti cara berpakaian perempuan Muslim.

“Sekarang banyak yang pakai kerudung tapi bajunya ketat. Sebaiknya menutupi dada dan longgar-longgar,” ucap Sri.

Pandangan tersebut sejalan dengan sejumlah kajian sosiologis yang menyoroti bagaimana motivasi dan penampilan muslimah berhijab kerap menjadi objek pengawasan publik. Dalam beberapa penelitian, penilaian terhadap perempuan berhijab datang dari dua arah: dianggap tidak syar’i jika busananya terlalu ketat, atau dinilai terlalu konservatif bila tampil tertutup.

Selain itu, motivasi berhijab sering kali dikaitkan dengan faktor eksternal, seperti tuntutan pasangan, lingkungan, atau tren media sosial, bukan sebagai bentuk otonomi pribadi.

Menyikapi tekanan sosial tersebut, baik Sri maupun Irma berharap masyarakat dapat melihat perempuan berhijab lebih dari sekadar penampilan luar.

“Yang penting bukan bajunya, tapi sikap dan akhlaknya,” ujar keduanya hampir bersamaan, sebelum melangkah meninggalkan halaman Istiqlal yang siang itu diselimuti cahaya matahari lembut.

Leave a comment